Minggu pagi, hujan deras dan bunyi guntur menggelegar terdengar dari atas atap, membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Aku langsung mengambil Hp-ku yang berada di celana saku belakang. Ada kancing di saku, agar Hp-ku ndak keluar dari kantong saat tertidur.
Melihat jam sudah pukul lewat 5 pagi, aku baru sadar kalau di samping kananku ada ibu dan di samping ibu ada bibi. Saat bangun entah mengapa rasanya, aku ingin ke teras depan untuk melihat sepeda motorku. Terparkir pas di samping panggung, yang dipindahkan oleh seseorang tadi malam.
Khawatir karena hujan dan tanah basah, bisa saja motor ku malah terbaring juga, pikirku saat itu. Jalan pelan takut membangunkan orang-orang, yang masih lelap dengan tidurnya. Meski sebagian lain, sudah ada yang sibuk dengan tugas masing-masing.
Sekarang berada di teras, air hujan mengalir turun dari atas atap. Melihat sepeda motor ku aman-aman saja, merasa tenang karena terhindar dari guyuran air hujan.
Ku lihat di serobong telah ada seseorang yang menyusun meja dan kursi. Ingin membantu tapi rasa udara sangat dingin, aku pun kembali ke dalam lagi. Membaringkan tubuh dengan nyaman, saat berebah guntur kembali menyambar.
Suara guntur yang menyambar, kali ini sangat nyaring sekali. Bersamaan suara guntur itu, tiba-tiba saja lampu mati. Menjadikan suasana horor sementara, tapi sadar kalau di sini ramai suasana horor sirna. Banyak orang yang kaget mendengar suara guntur itu.
Ibuku terbangun dan selalu ber-istighfar, saat suara guntur kembali menyambar. Aku mengira guntur bersuara sangat nyaring tadi, menyambar kilometer lampu rumah ini. Karena melihat lampu-lampu rumah tetangga lainnya, masih menyala terang.
Seseorang yang mengetaui bahwa kilometernya, hanya tejeglek saja. Jadi, ada yang mengecek dan mengembalikan sakelar pada kilometer. Aku mencoba untuk tidur lagi, setelah lampu kembali menyala.
Ketika aku bangun dari tidurku, ibu sudah lebih dulu bangun dan buru-buru mandi di pagi ini. Aku masih merasa sangat dingin, meski hujan deras telah berganti menjadi gerimis. Hujan gerimis ini seperti ndak akan berhenti membasahi tanah.
Aku dipanggil untuk segera mandi, tapi enggan rasanya karena masih sangat dingin. Jaket yang sebelumnya ku gunakan untuk menutupi kakiku. Kini ku pakai di badan, menghindari dingin yang mulai menyerang. Topi hitam milik adek yang ku taruh di dadaku, kini ku pakai di kepalaku kembali.
Memeriksa Hp-ku lagi, rupanya daya baterai sudah benar-benar habis. Mana ndak membawa charger dari rumah, mau pinjam sama siapa?. Ingin meminjam kepada anak-anak yang ada di tengah ruangan. Tapi mereka terlihat sedang asik, memainkan Hp milik mereka sambil di charger juga.
Tapi ku urungkan niatku, aku malah menyimpan Hp ini ke dalam tas ibu saja. Lalu aku keluar ke teras rumah, entah yang ke berapa kalinya aku ke sini. Mungkin pada acara ini, justru teras rumah menjadi tempat favorit ku.
Karena dari teras rumah ini, aku merasa bisa melihat semua kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang. Terutama di serobong, seperti melihat orang-orang yang sedang menyusun meja dan kursi.
Rasanya ingin membantu, mungkin karena terbawa suasana orang-orang sibuk dengan pekerjaan. Meski masih ada beberapa orang yang tidur nyenyak, karena dinginnya suasana pagi gerimis ini.
Tapi dibandingkan mereka, hanya aku saja yang berdiri sendiri di teras. Hanya diam melihat-lihat, tanpa melakukan apapun. Apa karena baru bangun dari tidur dan dinginnya dari hujan gerimis pagi ini. Sehingga menimbulkan rasa malas untuk melakukan sesuatu.
Dari pada aku di sini hanya berdiri, sambil termenung tanpa melakukan apapun. Aku memilih kembali ke dalam rumah, ndak untuk tidur lagi. Meski matahari ndak terlihat, tetapi cahayanya mengintip dari balik langit yang mendung. Aku memilih mengambil pakaian ganti, yang sudah ku bawa dari rumah.
Ndak enak bila mandi di kamar mandi rumah ini, karena ndak hanya aku yang menunggu. Banyak orang-orang bergantian, menunggu giliran untuk dapat menggunakan kamar mandi. Dari pada menunggu, aku memilih mandi di sumur nenek saja.
Berada ndak jauh dari sini, aku sudah mengatakan kepada acil yang tentu saja tau sumur itu. Acil malah menawari ku handuk, tapi aku malah menolaknya. Mungkin banyak orang yang membutuhkannya di sini, pikirku.
Berjalan di pinggir jalan raya menuju sumur nenek, kali ini aku ndak menggunakan jaket, tapi topi tetap ku gunakan. Sedangkan jaket, ku tinggalkan saat mengambil pakaian ganti. Meski hujan gerimis kalau ndak hati-hati juga, air hujan gerimis bisa membasahi pakaian.
Saat sampai di sumur, yang berada di depan rumah nenek. Ku taruh pakaian ku di pagar teras rumah nenek. Rumah nenek terbuat dari kayu yang memiliki cat sangat memudar.
Memiliki teras yang dipagari, karena rumah nenek memiliki tiang yang cukup tinggi. Sebagai kaki penahan rumah, di bawah kolongnya ada kandang tempat ayam-ayam peliharaan nenek. Seolah pagar diteras ini, lebih tinggi dari pada dadaku
Aku bersama keluarga, saat jalan-jalan ke desa ini pasti rumah nenek dulu yang di kunjungi. Karena sudah dari kecil, aku dan adek-adek ku dibiasakan mampir ke rumah nenek.
Melihat rumah nenek sepi dan terkunci, tentu saja karena hanya nenek seorang yang tinggal di sini. Sedangkan nenek bermalam, di rumah tempat berlangsungnya acara Akikah tadi.
Di samping rumah nenek ada kebun kelapa sawit, milik kakak sepupu. Biasanya Basir juga ikut membantu, dalam proses memanen. Tapi karena hujan gerimis, sepertinya mereka agak siang baru panen di sini.
Rasa-rasanya perut ku kembali mulas dan panggilan alam ndak bisa di tunda. Aku pun kembali masuk, ke dalam kebun ini mencari WC alami. Saat jalan mencari tempat tujuan, aku mengingat-ingat kembali kejadian semalam yang hampir serupa.
Setelah aku kembali dari dalam kebun sawit, dengan keadaan perut kembali lega. Sekarang di sumur langsung saja mandi di tempat pemandian, pas di samping rumah nenek.
Dengan menimba air sumur terlebih dahulu, ditaruh di dalam bak yang di tempatkan agak tinggi. Air dari bak penyaringan akan tersaring dan turun ke dalam bak di bawahnya. Di dalam bak itu sudah terisi air jernih, yang bisa digunakan untuk mandi.
Tempat pemandian yang agak terbuka, dengan daun kelapa dan seng sebagai dinding, tanpa atap. Bukan terasa segar lagi, melainkan sangat dingin menggigil. Karena mandi dari air bak tadi, sambil di guyuri dengan air hujan gerimis lagi.
Selesai mandi dan mengganti pakaian, kini aku kembali ke tempat acara Akikah. Melalui jalan pinggir setrat aspal, yang terlihat licin karena air hujan. Belum sampai separuh jalan, aku baru sadar kalau ada sesuatu yang tertinggal. Rupanya topi milik adek yang ku pinjam, tertinggal di tempat nenek.
Aku kembali lagi ke rumah nenek, padahal sangat susah kalau ingin berjalan. Selain licin, juga licak yang takut terciprat di celana, aku sudah ndak membawa pakaian ganti lagi.
Setelah mengambil topi di rumah nenek, dan menyimpan pakaian yang semalaman ku pakai. Kini aku sudah berada di teras rumah, tempat acara Akikah. Dengan kembali menggunakan jaket, topi dan menggulung ujung celana gobor hitamku. Agar ndak terkena licak saat berjalan di tanah, yang telah menjadi lumpur.
Karena hujan gerimis semua meja dan kursi basah. Seharusnya kursi, meja dan bagian pinggir serobong ini diberikan kain penghias. Tapi karena hujan jadi nanti saja, kata kakak sepupu setelah aku menghampirinya. Dia sedang berbicara dengan seseorang, yang mengelap meja dan kursi untuk mereka duduki.
Sedang aku hanya berdiri di dekat mereka, karena semua kursi selain yang mereka berdua duduki basah. Kakak pemilik rumah menyuruhku, untuk meratakan meja merah yang berada di pojok sana. Dia merasa pinggangnya masih terasa sakit, akibat mencangkul kemarin.
Aku pun mengiakannya, untuk memastikan aku mendekati meja yang ditunjukkan tadi. Memang meja ini agak miring, dibandingkan dengan meja-meja lainnya. Posisi meja ini berada di tempat, yang permukaan tanahnya memang ndak rata.
Aku meneriaki kakak pemilik rumah lagi, sambil menunjuk meja merah di hadapanku. Agar kembali memastikan dan lebih meyakinkan ku lagi, kalau meja ini memang yang harus diperbaiki posisinya.
Dia pun mengiakannya dan kalau butuh dodos untuk menggali, meratakan posisi meja. Bisa ku pakai katanya, sambil menunjuk ke arah belakang yang tepatnya berada di samping rumahnya.
Kembali mengiakan saja meskipun aku ndak melihat dari sini, kalau di sana ada peralatan itu. Aku kembali menghampiri mereka, saat jalan mendekati aku baru sadar, kalau atap dari serobong ini ada yang terbuka.
Menanyakan apa atap itu bocor? kakak pemilik rumah mengatakan kalau atap itu ndak bocor. Tetapi kurang tergeser rapat satu sama lain, dia akan memanjat. Untuk merapatkan kedua atap itu, bila hujan gerimis nanti sudah reda.
Kakak pemilik rumah meninggalkan kami, seperti ada kesibukan yang harus dia kerjakan. Di sini aku bersama dengan seorang yang terlihat sudah tua, tapi masih memiliki jiwa muda.
Aku tau karena sesekali dia membuka topinya, terlihat kepalanya sudah beruban. Kami berbincang-bincang mengenai pekerjaan, terutama pekerjaannya sebagai buruh. Dia bekerja memuat dan membongkar kelapa sawit, di lodingan dekat sini.
Lumayan lama kami ngobrol, ada seorang kakek yang datang menghampiri dan bersalaman dengan kami. Kakek itu mengatakan sudah hampir pukul 9, tapi hujan belum juga reda. Membuat ndak banyak orang yang datang kesini. Padahal pada pukul 8 tadi seharusnya sudah dimulai, dengan membaca ayat Al-qur'an.
Saat orang tua sudah memulai membaca ayat Al-qur'an, kami yang di luar membenahi kursi, meja dan serobong. Itu semua akan dihiasi dengan kain penghias. Sekarang kami bertiga, seorang bapak menghampiri kami dan mengusulkan untuk memasang kain penghias, pada pinggir serobong dahulu.
Saat aku sendirian memasangkan kain penghias terakhir, di bagian depan kanan serobong. Kami yang membenahi tinggal berdua saja, karena bapak bertopi tadi pergi. Dia ke atas panggung, sambil bercakap-cakap dengan orang-orang di situ.
Sangat serius aku mengikatkan kain penghias di besi rangka serobong ini. Tiba-tiba saja air mengguyuri topi dan jaket ku, entah dari mana air sebanyak ini. Hampir saja membasahi baju pengganti satu-satunya, yang ku bawa. Tapi untung saja ndak basah, karena jaket ku dan ndak ada kata sumpah serapah yang keluar dari mulutku.
Tetapi topi yang ku kenakan basah kuyup, terkena guyuran air tadi. Aku pun memerasi topi ku, tentu saja mengeluarkan air dari perasanku. Sambil ku lihat siapa pelakunya, rupanya bapak yang mengusulkan kami tadi, dia hanya mengatakan sorry.
Aku pun ndak berani untuk menyalahkan atas kelalaiannya. Karena dia melihat ke atas atap dan mendorong genangan air di atap, yang terlihat menonjol ke bawah. Dia mendorongnya dengan tongkat besi panjang, tanpa memperhatikan keberadaan ku yang tepat di aliran guyuran air itu.
Meski ada rasa kesal dalam hati, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Kali ini kami yang hanya berdua saja, memasangkan kain penghias kursi. Kursi hijau dari bahan plastik ini, di lap terlebih dahulu. Dengan kain, yang memang sudah digunakan sebelumnya oleh bapak bertopi hitam tadi.
Setelah terasa kering, barulah kursi ini di kenakan kain penghias. Dengan cara dimasukkan melalui, bagian bawah kain yang khusus untuk kursi. Seolah memberikan pakaian pada kursi ini, pikirku.
Kami memberikan kain ini di setiap kursi, khususnya pada kursi untuk tamu. Sampai pada kursi yang berada di meja merah, yang agak sedikit miring ini. Aku mengambil dodos, untuk digunakan menggali pada tempat yang di tunjukkan tadi.
Dengan dodos ini aku menggali dan membenamkan salah satu kaki meja. Agar meja merah ini terlihat datar, dengan dibantu oleh bapak yang mengguyuriku dengan air tadi.
Setelah itu kami memasangkan taplak meja, berbentuk bundar sesuai dengan bentuk mejanya juga. Ndak taunya kurang dua taplak meja lagi, tapi yang ada hanya itu saja.
Salah satu meja yang belum di beri taplak, dan kursi yang belum diberi kain penghias, adalah meja dan kursi pada bagian tengah serobong ini. Karena atap di atasnya belum dirapatkan, bapak ini yang sama-sama dari tadi memasang kain penghias. Kembali menggunakan tongkat besi panjangnya, untuk menumpahkan air yang tergenang di atap serobong ini.
Tentu saja meja dan kursi yang berada di posisi tengah dari serobong ini, basah terguyur oleh genangan air hujan itu. Tanpa ku sadari rupanya hujan sudah mulai reda, hanya rintik-rintik air gerimis. Kakak pemilik rumah ini pun, sudah memanjat atap serobong.
Terlihat dari bawah sini, atap serobong itu menonjol-nonjol akibat gerakan orang di atasnya. Tentu dia berusaha menyatukan atap serobong, pada akhirnya atap itu berhasil untuk disambungkan.
Tanpa menghiraukan kelanjutan atap itu lagi, aku dan bapak yang mengguyuriku dengan air. kami bersama-sama kembali memasangi kain penghias kursi. Tentu saja kursi dan meja ini, sudah di lap sampai kering dari air guyuran terlebih dahulu.
Selanjutnya
Ke Acara Akikah Bagian 4 : Jadi Pelayan Di Acara Akikah
Komentar
Posting Komentar